HOW TO BE: A Selebgram

Beberapa hari lalu, tepatnya 4 September 2017, masih dengan perasaan denial akan revisi skripsi yang belum tersentuh, seorang teman membagikan info tentang acara-acara diskusi yang hendak diadakan oleh fakultas tercinta saya. Awalnya sih tak terlalu menggubris info tersebut, toh sudah beragam acara diadakan, namun pemilihan topiknya tidak cukup membuat saya tertarik untuk ikut.

Sampai akhirnya, secara iseng saya melihat kembali detail acara tersebut, kali ini dengan saksama. Mata pun tertuju pada topik bahasan yang cukup… unik?

Hold on..

Wait, what?

Ngobrol sama temen sana-sini, barulah tahu kalau ternyata topik ini cukup menjadi pembicaraan oleh kalangan mahasiswa, dalam konotasi negatif. Enggak mencari tahu lebih jelasnya sih, tapi bagi saya nampaknya itu wajar karena NGAPAIN ANJIR KAMPUS MALAH NGEBAHAS TENTANG GIMANA CARANYA UNTUK JADI SELEBRITI/PUBLIK FIGUR, DI LINGKUP AKADEMIS?!!?! Apalagi jika melihat judul-judul topik diskusi lain, malah kelihatan jomplang banget. Tapi, karena ‘dikuasai’ oleh rasa penasaran, tidak ingin tergiring oleh opini publik tanpa melakukan pembuktian, dan pas lagi enggak banyak kerjaan, saya memutuskan untuk mengikuti diskusi tersebut.

Hari yang dinantikan pun tiba, sesampainya di wilayah kampus, saya langsung menuju ke gedung BE ruang 11, masuk ke sana sebagai mahasiswi bangkotan, mencari tempat duduk berlokasi sedikit agak ke belakang, berharap bisa merasakan kembali suasana semasa kuliah dulu, sembari bergelagat layaknya Sherlock Holmes yang mengobservasi keadaan sekitar. Meskipun pada akhirnya enggak ada wajah familiar.

Diskusi dimulai sekitar 15-20 menit lebih telat dari jadwal, kondisi kelas terisi sekitar 30-an orang lebih, termasuk pembicara. Dibuka dengan menjelaskan terlebih dahulu bahwa selain Dinda Ayu Larasati sebagai pembicara dan selebgram, juga ada narasumber lain yaitu Mas M. Hafidullah yang bekerja di digital agency. Mbak Dinda tidak sendiri rupanya.

Dari pihak penyelenggara–kalau tidak salah CDC (Career Development Center) Fisipol, mereka cukup sadar jika topik ini jadi buah bibir di luar, mereka pun memberikan argumen tentang mengapa memutuskan untuk menjadikan “How to be a Selebgram” sebagai topik bahasan, dan yang saya tangkap, jawabannya sederhana: pihak kampus (Fisipol UGM) menghargai sesuatu (values something) dari berbagai jenis bidang, ketertarikan, dsb. Jadi, hal seperti selebgram yang oleh banyak orang dinilai negatif, pasti memiliki nilai. Oke deh.

The Discussion – by Dinda Ayu Larasati

Dinda Ayu Larasati, adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM dari jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2014, ia berasal dari Bali. Yah, saya mengakui bahwasanya ia memiliki visual seorang selebgram “pada umumnya”: berparas cantik, rambut panjang, kulitnya putih. Sebagai pembicara pertama, ia menyampaikan materi yang secara garis besar menceritakan tentang kisah awal dirinya mengenal dunia Instagram, mulai dari cuma mengunggah foto sesuka hati, hingga akhirnya memutuskan untuk “berprofesi” sebagai seorang selebgram. Mbak Dinda, yang juga bergabung di komunitas Instagram Jogja sejak 2016, melihat peluang lain bahwa akun Instagram bisa digunakan sebagai alat untuk menghasilkan uang, ia pun mencari tahu lebih lanjut, sampai akhirnya ia melakukan registrasi di sebuah agensi online.

Iya, begitu caranya supaya jadi selebgram. Y’all just need to register yourself to social media agency via online!

“Kok rancu, ya? Kalo gitu bener-bener siapa aja bisa jadi selebgram, dong?”

Sejujurnya, bagi saya materi dari Mbak Dinda tidak secara jelas menjawab “how”-nya, melainkan lebih ditekankan dari sisi dirinya, sebagai praktisi. Hasilnya, ya hanya bercerita berdasarkan pengalaman pribadinya saja. Tidak ada bahasan “how” dari sudut pandang selebgram profesional–jika memang ada. Tetapi, bila dinalar, saya berasumsi dirinya melakukan pendaftaran online pada kondisi telah lebih dahulu memiliki banyak pengikut di Instagram. Didapat darimana? Karena Mbak Dinda sebelumnya cerita bahwa ia bergabung dalam komunitas Instagram Jogja, mungkin didapatnya dari situ. Mungkin, lho.

The Discussion – by M. Hafidullah

Durasi Mbak Dinda berbicara enggak lama-lama, sekitar 20-25 menit dari total 2 jam waktu yang disediakan. Setelah itu, berganti ke pembicara kedua, Mas Hafid, mempresentasikan materi berjudul “The New Age of Social Media Influencer (New Business vs Controversy)”. Mas Hafid juga berkecimpung di sektor media sosial, tetapi beda jenis “tanggung jawab” dengan Mbak Dinda. Lingkup pekerjaan Mas Hafid lebih kepada seseorang yang menghubungkan antara client/brand dengan para selebgram. Jika suatu brand ingin produknya dipromosikan oleh seorang selebgram, agen-agen ini harus mencari selebgram seperti apa yang sesuai dengan apa yang hendak dipromosikan oleh brand tersebut. Enggak masuk jika brand kuliner di-endorse oleh selebgram yang fokus kontennya tentang travelling, misalnya.

Materi oleh Mas Hafid lebih menarik perhatian saya, mulai dari ia yang memberi tahu bila Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang pengguna Instagram terbanyak, juga menjabarkan seperti apakah profil ideal seorang selebgram yang baik. Perlu ditekankan, “selebgram”, “selebtwit”, dan “seleb-media sosial lain” itu dianggap sebagai apa yang disebut oleh Mas Hafid Social Media Influencer (SMI).

Kembali ke pertanyaan di atas tadi, apa memang setiap orang bisa menjadi SMI? Lalu indikatornya apa hingga bisa disebut sebagai SMI? Bagi Mas Hafid, setiap orang bisa jadi SMI, selama mereka memiliki kemampuan untuk meng-influence pengikutnya melakukan sesuatu. Jika profil Instagram kamu pun hanya punya total pengikut kurang dari 1.000, tetapi bisa “menggerakkan” mereka agar ikut serta melakukan apa yang kamu ajak, bisa saja kamu punya bakat untuk menjadi seorang aktivis SMI. Tetapi, berbicara angka, Mas Hafid mengacu dari SociaBuzz, seseorang barulah disebut SMI bila punya pengikut berjumlah lebih dari 20.000 pengguna.

Idealnya, ada empat “formula” untuk jadi SMI yang baik: (1) consistency,  konsisten terhadap konten yang diunggah maupun karakter yang hendak dibangun oleh SMI tersebut; (2) understanding audience, seorang SMI harus paham lingkup audiensnya, apa yang sebenarnya dicari oleh mereka. Ketika audiens mem-follow SMI, hal itu karena dirinya merasa cocok dengan isi kontennya, dan menginginkan lagi konten tersebut; (3) inspiring, menjadi SMI ada baiknya bila dapat menginspirasi banyak orang; terakhir, (4) be honest, jujur sama followers-nya. Ya sebenarnya non-SMI pun enggak baik untuk bohong di media sosial, sih.

Jika diperhatikan, SMI Instagram lebih banyak dan laku digunakan oleh brand ketimbang SMI di media sosial lain, content engagement-nya pun lebih baik. Mengapa demikian? Dijelaskan oleh Mas Hafid, kalau media sosial sendiri terpecah ke dalam beberapa gelombang, semakin tinggi angkanya, maka fokus fitur di media sosial tersebut semakin sempit. Twitter dan Facebook adalah media sosial gelombang ketiga, seperti yang kita tahu, Facebook memiliki banyak sekali fitur untuk konten visual, tulisan, pokoknya banyak. Lalu Twitter, dikonsep sebagai media sosial micro-blogging, namun juga punya fitur membuat konten visual. Sementara Instagram, masuk kepada gelombang media sosial keempat, fiturnya terfokus pada segi visual saja, mulai dari mengunggah gambar, video, bahkan Stories-nya. Karakter minimalis ini menjadikan kontennya lebih terpusat, apalagi dari segi visual, yang langsung terlihat seperti apa rupanya.

Media sosial saat ini sudah berperan sebagai alat untuk melakukan bisnis. Sudah banyak brand yang membuat akun media sosial untuk produknya sendiri, hal ini selain agar dianggap jika brand tersebut mengikuti kemajuan teknologi dan beradaptasi dengan lingkup masyarakat, namun juga supaya lebih responsif kepada konsumennya. Kemunculan SMI pun dilihat sebagai agen yang juga berkecimpung di sektor bisnis, menggunakan media sosial sebagai instrumennya. Berangkat dari pernyataan ini, SMI telah mendefinisi ulang (re-define) empat aspek: (1) re-define the media itself, (2) re-define the business landscape, (3) re-define the way we communicate, dan (4) re-define the concept of role model. Cukup self-explanatory lah ya, soalnya empat aspek ini tidak dijelaskan secara mendalam oleh Mas Hafid.

Akhirnya, waktu presentasi Mas Hafid pun telah usai, sempat diadakan sesi tanya-jawab, tetapi saya rasa tidak terlalu penting untuk dimasukkan di sini–di satu sisi karena tidak saya catat juga, hehe. Diskusi pun selesai pada pukul 15.30 lebih sedikit. Secara keseluruhan, saya rasa acara diskusi ini cukup direspon baik oleh peserta yang datang.

Conclusion?

Saya mengerti kok, kalau sampai di sini masih ada yang menganggap materi diskusinya masih tidak bermanfaat, bisa karena sudah sinis duluan dengan kata “selebgram”, penjelasan saya masih belum jelas, atau mungkin ada alasan lain. Tetapi dari perspektif Mbak Dinda dan Mas Hafid sebagai praktisi, media sosial sudah menjadi alat yang telah membentuk lapangan bisnis baru, dan hal ini membuat fungsi media sosial bertambah lagi. Pihak CDC Fisipol juga mengatakan bahwa SMI dilihat sebagai bagian dari ekonomi kreatif, memberikan dampak baik untuk bisnis dan meningkatkan PDB (Produk Domestik Bruto). Di lain hal, Indonesia adalah negara penyumbang pengguna Instagram terbanyak sebesar 22 juta akun dari total seluruh akun Instagram di dunia. Ditambah lagi oleh kalimat “orang Indonesia terlalu kreatif”, maka “lahir” lah orang-orang seperti Mbak Dinda ini. Meskipun tidak bisa dikategorikan sebagai jenis pekerjaan–atau belum? Mbak Dinda pun mengatakan dirinya juga tidak menjadikan selebgram SMI sebagai pekerjaan tetap.

Tidak mudah mengubah pandangan masyarakat terhadap stigma media sosial yang banyak dikritik sebagai wadah untuk ajang saling pamer kebahagiaan, self-praised, pribadi narsistik, dan sebagainya. Tetapi, saya pikir kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada media sosial. Karena Instagram, Facebook, Twitter, dan lainnya hanya merupakan instrumen. Instrumen ini kemudian bisa punya nilai dari siapa yang menggunakannya, dan dipakai untuk apa. Pada akhirnya, ya kembali lagi tergantung kepada kita, individu, sebagai penggunanya. Dalam diskusi “How to be a Selebgram” , bahasannya lebih mengangkat dari konteks bisnis dan ilmu komunikasi. Ditunjukkan bagaimana menjadi SMI dan bekerja di sektor media sosial adalah peluang lain untuk mendapatkan uang. Karena, tidak semudah kelihatannya, perlu analisis dan pertimbangan cermat agar ketiga pihak–SMI, agensi media sosial, dan brand sama-sama diuntungkan, jadi tidak bisa dilakukan secara sembarang pula.

Yaudah, begitu aja.

4 thoughts on “HOW TO BE: A Selebgram

  1. Haz says:

    Hi, kak! Wah baru tahu, nih, kaka ada blog, tulisannya juga enak. I enjoy your content. Menyambung soal sosial media yang bisa jadi lapangan penghasilan, jadi keinget ngomongan nyokap sehari2 kalo liat anaknya lama megang hape: “kamu main hape terus, emang itu bisa kasih kamu uang?” Well, beliau gatau aja kalau banyak banget org yg udh menikmati hasil dari ‘main’ hape seperti cerita ini. Hehe.
    Just sharing tho, anw good luck on your revisi-an. Ku baru mau mulai nyusun nih, wish me luck too, haha

    Like

    • Amel says:

      Iyep, karena balik ke poin tadi.. medsos udah bertambah fungsi. Anyway thanks! Glad to know that. Good luck with your thesis too 😊😊 jangan kelamaan nyusunnya hahaha.

      Like

SHARE YOUR THOUGHTS!